CHAPTER 1
Di tengah ruangan yang kosong, seorang gadis berdiri tanpa rasa takut, dikelilingi gelap dan
suara berat yang menggema jahat.
“Apakah kamu benar-banar ingin tahu akan keberadaanku, gadis kecil? Hfufufu”
“Tidak perlu tertawa licik! Siapa kau sebenarnya? Tunjukan wujud aslimu!”
“Apa yang kau bicarakan? Kau sudah melihatku, bahkan sejak kau masuk ke sekolah ini.”
Apa maksudmu!? Bicaralah yang jelas, makhluk aneh!”
“Aneh? Sadarlah gadis kecil. Aku adalah kebencian, kebencian yang tumbuh menjadi sebesar ini, kau… ada di dalam tubuhku sekarang.”
“Aku ada karena kebencian yang mereka tanam.
Aku tumbuh seiring dendam yang semakin menghitam.
Dari sebutir biji aku berdiri.
Kini aku besar dan kebencian itu datang dengan sendirinya.
Kemarilah anak-anak
Bawalah masuk kebencian yang lezat itu”.
Sebuah bangunan terkutuk yang tercipta dari dendam dan kebencian masa lau. ~^~
Apa ini? Dadaku berdebar sesak.
“Yuki! Cepatlah bang..uun? Loh, kemana anak itu? Apa dia sudah bangun?”
Seorang wanita bercelemek putih mengamati sekeliling kamar yang terlihat rapi dengan bingung.
“Ibu? Sedang apa?”
Seorang gadis muncul dari undakan anak tangga, rambutnya basah dan dipipinya tertempel
semacam plester luka.
“Kau, sudah bangun.”
Gadis itu berjalan mendekati kamar sembari menggosok-gosok rambut dengan handuk merah
muda kecil yang melingkari lehernya.
“Tentu saja, kalau tunggu Ibu membangunkan, aku bisa kesiangan Bu”, Jawabnya dengan
senyum sebelum pintu kamarnya tertutup.
“Huh, dasar. Padahal dulu kau selalu bangun siang”.
“Sekarang aku sudah besar Bu”,
“Hei.. hei.. kau ini, dulu yang Ibu maksud itukan baru kemarin”.
“Baiklah, besok aku nggak akan bangun-bangun..”
“Aduh.. bukan itu juga yang Ibu maksud, Ibu senang kau bangun pagi, apa yang merasukimu,
hah?”
Tidak ada jawaban dari dalam kamar. Hanasa, Ibu gadis itu masih berdiri di depan kamar
putrinya, kini dengan senyuman penuh kasih yang terlukis di wajahnya. Dasar anak ini,
sepertinya semakin dewasa saja. Gumamnya berbalik menuju tangga.
“Cepatlah turun. Sarapan sebelum sekolah ya!! Ibu sudah buatkan sup”. Ah iya.. sekolah baru
ya.. pasti gara-gara itu. Pikirnya seakan mengerti penyebab sikap anak kesayangannya itu pagi
ini. Ia menuruni tangga dengan langkah berirama―Girang.
~^~
Langkah kaki menderap dari arah tangga kayu. Seorang anak perempuan terlihat terburu-buru,
menyandang tas ransel merahnya sekaligus merapikan dasi ikat yang lebih mirip kacu itu. Dia
mendekati meja makan dengan gerak-gerik tergesa-gesa, wanita bercelemek putih segera
meninggalkan dapur setelah mendengar keributan langkah kaki Yuki. Ia menuju ruang makan.
Melihat Yuki yang terpontang-panting mengoleskan mentega kerotinya, Hanasa tertawa.
“Hahaha. Astaga Yuki.. percuma bangun pagi-pagi, ternyata akhirnya tragis seperti biasa ya
nak.” Guraunya, tetapi Yuki seakan terlalu panik untuk meladeni candaan ibunya itu.
“Ah Ibu. Aku gugup sekali dan Ibu masih bisa tertawa begitu?” Kesalnya berlari meninggalkan
meja makan dengan menggigit selembar roti dimulutnya, ia bergegas memakai sepatu di depan
pintu rumah.
“Yuki sayang, tenanglah… inikan hanya hari pertama di sekolah baru, seperti biasanya kan..”
tegur Hanasa, jemarinya membelai rambut Yuki dan menyematkan ikat rambut merah muda
dengan kuncir miring di kepala sebelah kirinya. Kunyahan Yuki terhenti―tak bergerak. Mencoba
memikirkan lagi apa yang tengah ia rasakan saat itu.
“Kenapa? Kali ini terasa lain Bu, disini… berdebar sekali, rasanya mau meledak”, gadis itu
memegang dadanya dan merasa ada yang tidak beres dengan degupan jantungnya. Wanita di
belakangnya itu menatap heran.
“Apa kau tidak suka sekolah yang Ibu pilihkan itu?”
Yuki berfikir sejenak lalu menggeleng kuat walau dengan raut wajah binggung juga.
“Entahlah Bu, aku belum tau..” Kali ini Hanasa tersenyum geli.
“HOSH!”
PLAK! Hanasa menepuk punggung putrinya dengan semangat, Yuki tersungkur tidak terlalu
keras.
“Aduh Ibu, ngapain sih?” gerutu gadis itu mencoba berdiri dari posisi tersungkurnya.
Ibu Yuki tertawa seringai. “Tebak siapa yang rok barunya tersibak pagi ini”. Yuki
mengembungkan pipinya yang memerah, lalu memalingkan wajahnya membuka knop pintu.
Hanasa masih bersimpuh di atas lantai rumah yang lebih tinggi beberapa centi itu. “Mentransfer
semangat!” Yuki berhenti memutar knop yang sudah berbunyi ‘klek’ itu, ia menengok kebelakang
memandangi seorang wanita yang masih cantik walau sudah terlihat beberapa garis keriput
diwajahnya. “Karena Yuki anakku itu, anak yang ceria”. Senyum Hanasa terkembang, sekujur
tubuh gadis itu seakan bergetar. “Ayo sana! Ntar telat!”
Mata Yuki berbinar, seakan mendapatkan lagi jiwanya. Iapun melangkahkan kaki melompati teras
kayu panggung dan pergi dengan senyum lebar.
“Semangat sekali anak itu. Persis aku sewaktu muda dulu”. Gumam Hanasa. Yah, pada akhirnya
dia tidak mencicip supku sedikitpun.
~^~
Asap rokok pengepul sesak di sebuah ruangan gelap yang tertutup dan sempit. Seorang pria
brewok berjaket biru sport duduk di atas kursi putar dan menyilangkan kakinya ke atas meja.
Sementara itu seorang pria lagi yang berpenampilan lebih rapi berdiri di depannya. Suasananya
hening tanpa pembicaraan, namun mata mereka berdua seakan berkelut dalam sebuah
percakapan.
“Uhuk uhuk uhuk”
“HEI! Kau mengancurkan suasana keren barusan tau!” teriak pria brewok setelah lawan
bicaranya itu terbatuk sesak.
“Ini salahmu juga Pak Kobaya. Kenapa memilih lemari perkakas kebersihan untuk tempat bicara?”
“Kau sedang mengejek tempat persembunyianku, hah?!” geram pria bernama Kobaya itu
mengepalkan tangannya ke atas meja.
Astaga orang macam apa dia… lagipula darimana dia dapat kursi dan meja ini. Gumam lawan
bicaranya heran melihat 2 barang elit itu di sana. “Baiklah-baiklah. Apa yang ingin kau
bicarakan? Sebaiknya itu hal penting, kalau tidak…” dengan wajah sedingin pembunuh, pria itu
menghunus besi runcing yang tiba-tiba saja keluar dari tinjunya.
“oke-oke. Jika berita ini benar, ini akan jadi hal yang lebih penting dari yang dapat kau
bayangkan, Ryu…”
Mereka bertatapan panjang dan mendalam, atmosfer di ruangan itu berubah derastis. Kabar
sepenting apa yang sebenarnya ingin dia sampaikan? Tanya Ryu membatin. Begitu pula Kobaya
yang mengharapkan ketegangan pada muka pria bermode orang kantoran itu.
Kobaya menelan ludah berat. Keringat meluncur dari kening Riyu. “Tadi pagi…” Kobaya
menghentikan kalimatnya, Ryu terlihat semakin tegang. “ aku sarapan bersama Ibu Taneshi!
Huahaha!”
Crooot! Mimisan keluar dari hidung Kobaya setelah dia menerima tonjokan maut Ryu yang kesal
setengah mati.
“Berita murahan begitu…” Ryu melangkah mendekati Kobaya yang tersungkur. “Akan kubunuh
kau”,
“Eits! Aku belum selesai bicara. Dasar pria iblis”, gumam Kobaya meringis. Ryu kembali ke posisi
berdirinya yang tenang. “Saat makan bersamanya, dia bilang dia dapat pengelihatan…” mata
Ryu membesar terkejut.
“Prajurit baru?” Tanya Ryu. Kobaya tersenyum remeh. “ Lebih hebat dari itu… kali ini…” Lelaki
brewok itu kembali memutuskan kalimatnya untuk memancing ketegangan. “akan datang ..
penyihir suci terakhir”.
“GURU! Pelajaran sudah dimulai!” tiba-tiba seorang siswa menerobos masuk, kedua pria itu
berdiri tak berkutik.
“Hei, ini yang kau tempat persembunyian. Hah?”
“Hahaha, mau bagaimana lagi”, jawab Kobaya yang tengah berjalan mendekati muridnya. “O ya
Ryu…” Lelaki berstelan sport itu berbalik menatap temannya yang masih berdiri kaku. “Apa kau
tidak penasaran?”
~^~
Namaku Yuki Hikari, panggil aku Yuki saja, sekolah lamaku banyak, aku hidup berpindah karena
pekerjaan ibuku, aku berasal dari Kota yang jauh…
“Aaargh! Terlalu aneh!”
Gadis itu terlihat menggerutu sepanjang jalan, langkahnya datar tak ada irama, kepalanya
tertunduk lesu tak bersemangat. Mulutnya komat-kamit dengan mata terang yang menerawang.
Memikirkan kata perkenalan untuk kesekian kalinya ia ucapkan di sekolah yang terus berganti.
“Huaaah! Siapa yang duga, pindah-pindah tempat tinggal seperti ini, membosankan”, gusarnya.
Tak seperti yang kubayangkan di awal, inginnya punya teman banyak malah begini, waktu
bersama mereka terpangkas habis, terlalu sebentar, aku jadi merasa nggak dianggap walau
sekeras apapun aku mencoba diperhatikan. Pikirnya mengutuk-ngutuk sendiri.
Langkah kakinya masih terus mengalun, pergi ke sekolah, hanya itu yang ada di pikirannya
begitu gerbang putih yang tinggi itu terlihat. Tidak sadar gadis itu melewati seorang anak lelaki
yang berhenti entah sedang melakukan apa, anak itu tidak bereaksi meskipun Yuki lewat di
sebelahnya, dia seperti termenung… menatap langit.
Gadis pindahan itu kini sudah sampai di tempat barunya, melawati gerbang tinggi seperti yang ia
lakukan di setiap sekolahnya dulu.
Apa ini? Dadaku berdebar sesak.
Yuki merasa ada seseorang yang mengamatinya, tidak pernah dia merasakan perasaan seperti
sekarang ini, seperti ada yang mengganjal dan menekan perasaannya. Gadis itu berhenti dan
memutar badannya, melempar pandangan ke seluruh sudut lapangan yang luas itu, mencari
mata-mata yang menguntitnya, tapi ia tak menemukan apa-apa, sebelum pandangannya tertuju
pada gedung kecil yang tampak tidak terurus di sudut lapangan, bangunan itu terlihat suram
namun menarik keinginan Yuki untuk mendekatinya. Saat ia mulai melangkahkan kaki mendekat,
anak lelaki yang sekilas dilihatnya mematung di depan gerbang sekolah itu lewat, kali ini Yuki
bisa melihatnya dengan jelas, anak bermata gelap dengan poni panjang yang menutupi sebelah
matanya. Seketika itu lonceng berbunyi. Yuki lupa akan keinginannya, ia bergegas memasuki
koridor depan sekolah yang mirip terowongan itu dengan mempercepat langkahnya setengah
berlari, melewati laki-laki berponi panjang tadi.
“A..apa tadi dinding ini bercahaya?” desis anak lelaki itu tersentak kaget.
~^~
BERSAMBUNG...