Forum Indofanster
Hunger School 143564713
Selamat datang di Forum Indofanster.
Silakan mendaftar dan login untuk bergabung mendiskusikan berbagai Manga-Anime.

Welcome to FAN

Jangan sungkan untuk bergabung ya...

Forum Indofanster
Hunger School 143564713
Selamat datang di Forum Indofanster.
Silakan mendaftar dan login untuk bergabung mendiskusikan berbagai Manga-Anime.

Welcome to FAN

Jangan sungkan untuk bergabung ya...


Forum Indofanster

Forum Tempat Berdiskusi Tentang Manga - Anime
Dibuat oleh Agoess Sennin pada 16 Mei 2009
Indofanster adalah Keluarga, Bukan Sekedar Tempat Berkumpul
 
IndeksPortalGalleryPencarianLatest imagesAffiliatePendaftaranLogin
Welcome to
Rules • Staff • Ranks & Holder

Share
 

Hunger School

Topik sebelumnya Topik selanjutnya Go down 
PengirimMessage
Afi Hakari
Chuunin Senior
Chuunin Senior
Afi Hakari


Posting : 65
Join date : 15.01.13
Age : 26
Lokasi : Kota Padang Sumatra Barat

Hunger School Empty
#1PostSubyek: Hunger School Hunger School Empty2/5/2013, 4:18 pm


CHAPTER 1
Di tengah ruangan yang kosong, seorang gadis berdiri tanpa rasa takut, dikelilingi gelap dan

suara berat yang menggema jahat.


“Apakah kamu benar-banar ingin tahu akan keberadaanku, gadis kecil? Hfufufu”

“Tidak perlu tertawa licik! Siapa kau sebenarnya? Tunjukan wujud aslimu!”

“Apa yang kau bicarakan? Kau sudah melihatku, bahkan sejak kau masuk ke sekolah ini.”
Apa maksudmu!? Bicaralah yang jelas, makhluk aneh!”

“Aneh? Sadarlah gadis kecil. Aku adalah kebencian, kebencian yang tumbuh menjadi sebesar ini, kau… ada di dalam tubuhku sekarang.”


“Aku ada karena kebencian yang mereka tanam.
Aku tumbuh seiring dendam yang semakin menghitam.
Dari sebutir biji aku berdiri.
Kini aku besar dan kebencian itu datang dengan sendirinya.
Kemarilah anak-anak
Bawalah masuk kebencian yang lezat itu”.


Sebuah bangunan terkutuk yang tercipta dari dendam dan kebencian masa lau.



~^~



Apa ini? Dadaku berdebar sesak.


“Yuki! Cepatlah bang..uun? Loh, kemana anak itu? Apa dia sudah bangun?”

Seorang wanita bercelemek putih mengamati sekeliling kamar yang terlihat rapi dengan bingung.

“Ibu? Sedang apa?”

Seorang gadis muncul dari undakan anak tangga, rambutnya basah dan dipipinya tertempel

semacam plester luka.

“Kau, sudah bangun.”

Gadis itu berjalan mendekati kamar sembari menggosok-gosok rambut dengan handuk merah

muda kecil yang melingkari lehernya.

“Tentu saja, kalau tunggu Ibu membangunkan, aku bisa kesiangan Bu”, Jawabnya dengan

senyum sebelum pintu kamarnya tertutup.

“Huh, dasar. Padahal dulu kau selalu bangun siang”.

“Sekarang aku sudah besar Bu”,

“Hei.. hei.. kau ini, dulu yang Ibu maksud itukan baru kemarin”.

“Baiklah, besok aku nggak akan bangun-bangun..”

“Aduh.. bukan itu juga yang Ibu maksud, Ibu senang kau bangun pagi, apa yang merasukimu,

hah?”

Tidak ada jawaban dari dalam kamar. Hanasa, Ibu gadis itu masih berdiri di depan kamar

putrinya, kini dengan senyuman penuh kasih yang terlukis di wajahnya. Dasar anak ini,

sepertinya semakin dewasa saja. Gumamnya berbalik menuju tangga.

“Cepatlah turun. Sarapan sebelum sekolah ya!! Ibu sudah buatkan sup”. Ah iya.. sekolah baru

ya.. pasti gara-gara itu. Pikirnya seakan mengerti penyebab sikap anak kesayangannya itu pagi

ini. Ia menuruni tangga dengan langkah berirama―Girang.


~^~


Langkah kaki menderap dari arah tangga kayu. Seorang anak perempuan terlihat terburu-buru,

menyandang tas ransel merahnya sekaligus merapikan dasi ikat yang lebih mirip kacu itu. Dia

mendekati meja makan dengan gerak-gerik tergesa-gesa, wanita bercelemek putih segera

meninggalkan dapur setelah mendengar keributan langkah kaki Yuki. Ia menuju ruang makan.

Melihat Yuki yang terpontang-panting mengoleskan mentega kerotinya, Hanasa tertawa.

“Hahaha. Astaga Yuki.. percuma bangun pagi-pagi, ternyata akhirnya tragis seperti biasa ya

nak.” Guraunya, tetapi Yuki seakan terlalu panik untuk meladeni candaan ibunya itu.

“Ah Ibu. Aku gugup sekali dan Ibu masih bisa tertawa begitu?” Kesalnya berlari meninggalkan

meja makan dengan menggigit selembar roti dimulutnya, ia bergegas memakai sepatu di depan

pintu rumah.

“Yuki sayang, tenanglah… inikan hanya hari pertama di sekolah baru, seperti biasanya kan..”

tegur Hanasa, jemarinya membelai rambut Yuki dan menyematkan ikat rambut merah muda

dengan kuncir miring di kepala sebelah kirinya. Kunyahan Yuki terhenti―tak bergerak. Mencoba

memikirkan lagi apa yang tengah ia rasakan saat itu.

“Kenapa? Kali ini terasa lain Bu, disini… berdebar sekali, rasanya mau meledak”, gadis itu

memegang dadanya dan merasa ada yang tidak beres dengan degupan jantungnya. Wanita di

belakangnya itu menatap heran.

“Apa kau tidak suka sekolah yang Ibu pilihkan itu?”

Yuki berfikir sejenak lalu menggeleng kuat walau dengan raut wajah binggung juga.

“Entahlah Bu, aku belum tau..” Kali ini Hanasa tersenyum geli.

“HOSH!”

PLAK! Hanasa menepuk punggung putrinya dengan semangat, Yuki tersungkur tidak terlalu

keras.

“Aduh Ibu, ngapain sih?” gerutu gadis itu mencoba berdiri dari posisi tersungkurnya.

Ibu Yuki tertawa seringai. “Tebak siapa yang rok barunya tersibak pagi ini”. Yuki

mengembungkan pipinya yang memerah, lalu memalingkan wajahnya membuka knop pintu.

Hanasa masih bersimpuh di atas lantai rumah yang lebih tinggi beberapa centi itu. “Mentransfer

semangat!” Yuki berhenti memutar knop yang sudah berbunyi ‘klek’ itu, ia menengok kebelakang

memandangi seorang wanita yang masih cantik walau sudah terlihat beberapa garis keriput

diwajahnya. “Karena Yuki anakku itu, anak yang ceria”. Senyum Hanasa terkembang, sekujur

tubuh gadis itu seakan bergetar. “Ayo sana! Ntar telat!”

Mata Yuki berbinar, seakan mendapatkan lagi jiwanya. Iapun melangkahkan kaki melompati teras

kayu panggung dan pergi dengan senyum lebar.

“Semangat sekali anak itu. Persis aku sewaktu muda dulu”. Gumam Hanasa. Yah, pada akhirnya

dia tidak mencicip supku sedikitpun.


~^~


Asap rokok pengepul sesak di sebuah ruangan gelap yang tertutup dan sempit. Seorang pria

brewok berjaket biru sport duduk di atas kursi putar dan menyilangkan kakinya ke atas meja.

Sementara itu seorang pria lagi yang berpenampilan lebih rapi berdiri di depannya. Suasananya

hening tanpa pembicaraan, namun mata mereka berdua seakan berkelut dalam sebuah

percakapan.

“Uhuk uhuk uhuk”

“HEI! Kau mengancurkan suasana keren barusan tau!” teriak pria brewok setelah lawan

bicaranya itu terbatuk sesak.

“Ini salahmu juga Pak Kobaya. Kenapa memilih lemari perkakas kebersihan untuk tempat bicara?”

“Kau sedang mengejek tempat persembunyianku, hah?!” geram pria bernama Kobaya itu

mengepalkan tangannya ke atas meja.

Astaga orang macam apa dia… lagipula darimana dia dapat kursi dan meja ini. Gumam lawan

bicaranya heran melihat 2 barang elit itu di sana. “Baiklah-baiklah. Apa yang ingin kau

bicarakan? Sebaiknya itu hal penting, kalau tidak…” dengan wajah sedingin pembunuh, pria itu

menghunus besi runcing yang tiba-tiba saja keluar dari tinjunya.

“oke-oke. Jika berita ini benar, ini akan jadi hal yang lebih penting dari yang dapat kau

bayangkan, Ryu…”

Mereka bertatapan panjang dan mendalam, atmosfer di ruangan itu berubah derastis. Kabar

sepenting apa yang sebenarnya ingin dia sampaikan? Tanya Ryu membatin. Begitu pula Kobaya

yang mengharapkan ketegangan pada muka pria bermode orang kantoran itu.

Kobaya menelan ludah berat. Keringat meluncur dari kening Riyu. “Tadi pagi…” Kobaya

menghentikan kalimatnya, Ryu terlihat semakin tegang. “ aku sarapan bersama Ibu Taneshi!

Huahaha!”

Crooot! Mimisan keluar dari hidung Kobaya setelah dia menerima tonjokan maut Ryu yang kesal

setengah mati.

“Berita murahan begitu…” Ryu melangkah mendekati Kobaya yang tersungkur. “Akan kubunuh

kau”,

“Eits! Aku belum selesai bicara. Dasar pria iblis”, gumam Kobaya meringis. Ryu kembali ke posisi

berdirinya yang tenang. “Saat makan bersamanya, dia bilang dia dapat pengelihatan…” mata

Ryu membesar terkejut.

“Prajurit baru?” Tanya Ryu. Kobaya tersenyum remeh. “ Lebih hebat dari itu… kali ini…” Lelaki

brewok itu kembali memutuskan kalimatnya untuk memancing ketegangan. “akan datang ..

penyihir suci terakhir”.

“GURU! Pelajaran sudah dimulai!” tiba-tiba seorang siswa menerobos masuk, kedua pria itu

berdiri tak berkutik.

“Hei, ini yang kau tempat persembunyian. Hah?”

“Hahaha, mau bagaimana lagi”, jawab Kobaya yang tengah berjalan mendekati muridnya. “O ya

Ryu…” Lelaki berstelan sport itu berbalik menatap temannya yang masih berdiri kaku. “Apa kau

tidak penasaran?”


~^~


Namaku Yuki Hikari, panggil aku Yuki saja, sekolah lamaku banyak, aku hidup berpindah karena

pekerjaan ibuku, aku berasal dari Kota yang jauh…

“Aaargh! Terlalu aneh!”

Gadis itu terlihat menggerutu sepanjang jalan, langkahnya datar tak ada irama, kepalanya

tertunduk lesu tak bersemangat. Mulutnya komat-kamit dengan mata terang yang menerawang.

Memikirkan kata perkenalan untuk kesekian kalinya ia ucapkan di sekolah yang terus berganti.

“Huaaah! Siapa yang duga, pindah-pindah tempat tinggal seperti ini, membosankan”, gusarnya.

Tak seperti yang kubayangkan di awal, inginnya punya teman banyak malah begini, waktu

bersama mereka terpangkas habis, terlalu sebentar, aku jadi merasa nggak dianggap walau

sekeras apapun aku mencoba diperhatikan. Pikirnya mengutuk-ngutuk sendiri.

Langkah kakinya masih terus mengalun, pergi ke sekolah, hanya itu yang ada di pikirannya

begitu gerbang putih yang tinggi itu terlihat. Tidak sadar gadis itu melewati seorang anak lelaki

yang berhenti entah sedang melakukan apa, anak itu tidak bereaksi meskipun Yuki lewat di

sebelahnya, dia seperti termenung… menatap langit.

Gadis pindahan itu kini sudah sampai di tempat barunya, melawati gerbang tinggi seperti yang ia

lakukan di setiap sekolahnya dulu.

Apa ini? Dadaku berdebar sesak.

Yuki merasa ada seseorang yang mengamatinya, tidak pernah dia merasakan perasaan seperti

sekarang ini, seperti ada yang mengganjal dan menekan perasaannya. Gadis itu berhenti dan

memutar badannya, melempar pandangan ke seluruh sudut lapangan yang luas itu, mencari

mata-mata yang menguntitnya, tapi ia tak menemukan apa-apa, sebelum pandangannya tertuju

pada gedung kecil yang tampak tidak terurus di sudut lapangan, bangunan itu terlihat suram

namun menarik keinginan Yuki untuk mendekatinya. Saat ia mulai melangkahkan kaki mendekat,

anak lelaki yang sekilas dilihatnya mematung di depan gerbang sekolah itu lewat, kali ini Yuki

bisa melihatnya dengan jelas, anak bermata gelap dengan poni panjang yang menutupi sebelah

matanya. Seketika itu lonceng berbunyi. Yuki lupa akan keinginannya, ia bergegas memasuki

koridor depan sekolah yang mirip terowongan itu dengan mempercepat langkahnya setengah

berlari, melewati laki-laki berponi panjang tadi.



“A..apa tadi dinding ini bercahaya?” desis anak lelaki itu tersentak kaget.


~^~


BERSAMBUNG...
Kembali Ke Atas Go down
Afi Hakari
Chuunin Senior
Chuunin Senior
Afi Hakari


Posting : 65
Join date : 15.01.13
Age : 26
Lokasi : Kota Padang Sumatra Barat

Hunger School Empty
#2PostSubyek: Re: Hunger School Hunger School Empty24/5/2013, 12:51 pm

CHAPTER 2


“Mmm.. Hai semuanya, namaku Yuki… dan


“cukup. Silahkan duduk”.
Wanita muda berbadan proposional itu menghentikan perkataan seorang
gadis, juga jalan pikirnya. Tidakkah dia guru yang kejam karena tidak
mengzinkanku memperkenalkan diri. Batinnya. Tapi gadis bernama Yuki itu tadak
begitu peduli, dia melangkah maju menuju sebuah bangku kosong di ujung paling
kiri kelas, kursi nomor lima dari tujuh kursi yang berbaris di sudut.



Yuki menghempaskan badannya dengan pelan ke atas kursi
kayu yang dipoles itu, walaupun beberapa sudutnya sudah terlihat agak memudar
dan mengelupas.



Pelajaran pagi sudah dimulai, wanita kejam itu
masih berdiri di depan kelas menuliskan beberapa bentuk aneh yang merupakan
bagian dari pelajaran matematika yang membosankan. Sesekali Yuki terlihat
mengamati ruang kelas, melihat keluar jendela, dan tak jarang juga
memperhatikan guru cantik itu untuk beberapa saat, tapi yang membuatnya
penasaran adalah, dua bangku kosong yang berderet di belakangnya.



Yuki
menaikkan sukunya ke atas sandaran kursi, sejajar dengan bahunya,
menjulurkannya untuk menyentuh meja yang terlihat kusam itu.



“Nona
muda, tidakkah anda merasa gerak-gerik anda itu menyita perhatian saya?”



Suara
lembut yang tegas barusan cukup membuat yuki terperanjat dari lamunannya, kini
matanya kembali tertuju pada papan tulis kapur yang sudah setengah penuh itu.



“Ffffuut…Pffuut…fffuuu


Terdengar suara seksofon yang mengalun merdu
berirama dari sebuah speaker hitam di sudut atas ruang kelas. Dari sekian
sekolah, inilah yang bel istirahatnya paling aneh. Batin Yuki mengangkat tangan
kanannya, dan memutarnya, melihat mesin bulat kecil dengan jarumnya yang
bergerak. Yuki menyusun bukunya, namun siswa di kelas itu masih serius mencatat
seakan tak mendengar music yang masih mengalun itu.



“Sial! Kali ini, habis kau Gil!” gertak wanita
tinggi berbadan proposional tadi menggebrak meja guru yang besar. Pot bunga
antic di atasnya terlihat melompat beberapa inci. Dia keluar dari ruangan kelas
dengan langkah menghentak kuat, daripada seorang wanita elegant, gerakannya
tadi lebih seperti seorang abri yang akan perang.



“Apa yang terjadi?” Tanya yuki heran, gadis itu
menoleh ke sebelah kanan, seorang anak berambut hitam panjang yang tebal dan
terurai duduk di sana.



“Dia tidak akan mendengarmu”, kata seorang gadis
lain yang duduk di depan, kali ini dengan penampilan yang bertolak belakang
dengan teman perempuan pucat di sebelah Yuki, Gadis ini berambut pirang
kemerahan seperti rambut yang rusak dan tidak terawat, pendek dan acak-acakan
seperti orang tidak waras. Dia
memutar-mutar jarinya di sekeliling telinganya sambil menatap gadis dingin yang
ia maksud.



“Tuli?” Tanya Yuki


“Tidak bisa dibilang begitu juga sih... karena
saat guru memanggil namanya, dia selalu merespon dengan cepat. Tapi… dia tidak
begitu mau peduli dengan apa yang ada di sekitarnya”, terang gadis itu, Yuki
yang tidak begitu mengerti mengangguk heran.



“Ah! Iya.. aku Yuki”, Sapa gadis itu menjulurkan
tangannya ke depan.



Apa
yang dipikirkannya sih? Kenapa tidak menjabat tanganku juga? Aneh Yuki melihat



tampang
riang anak itu berubah bingung.



“Apa yang harus ku lakukan?” tanyanya seperti
orang linglung. Dia mengangkat tangan kanannya ke atas seperti seseorang yang
tengah ditidong senjata.



Yuki terlihat cukup terguncang dengan ini, tak
bisa dia bayangkan seseorang yang tidak mengerti arti berjabat tangan. “Mmm
Kau cukup menjabat tanganku dan mengucapkan
siapa namamu”, terang Yuki tersenyum ramah. Gadis itu melakukan apa yang Yuki
instruksikan.



“Ame..”, sahutnya begitu berjabat.


Yuki hanya tersenyum bingung. Apa yang harus ku
lakukan lagi sekarang? Pikirnya. Ah, kulepaskan saja.



“Hei, laluapa yang akan terjadi?” Tanya Ame, matanya masih memperhatikan tangan
tangan yang bersalaman itu.



Yuki menghembuskan nafas beratnya dan tertunduk.
“Kau jadi temanku”, gadis itu mengangkat kepalanya dan senyumannya yang lebar
berhasil menarik Ame untuk tersenyum juga, senyum yang semakin lama melebar dan
memperlihatkan deretan gigi depannya, ada yang gingsul seperti semacam taring
. Dia manis ya… batin Yuki.


~


Saat ini waktu istirahat masih berlangsung, isi
kelas sudah hampir tersedot keluar seluruhnya. Hanya meninggalkan beberapa
orang saja, yang seperti terhipnotis di depan tumpukan buku-bukunya. Kecuali
seorang gadis yang terlihat asik memandang keluar jendela denga earphone di
teliganya.



“Yo Ame!” Yuki menepuk punggung gadis itu, dia
meluruskan berdirinya, badannya sama tinggi dengan Yuki, hanya saja dia lebih
kurus dan rata.



“Yuki? Ada apa? Apa seseorang jatuh dari gedung
lagi?” tanyanya spontan dan sukses membuat Yuki bingung dengan pikiran yang
semeraut. “Oh! Hai Yuki! Ada apa memanggilku?” Tanya Ame lagi. Kali ini mimic
wajahnya berubah drastis. Dia terlihat… sekarangdia terlihat sadar dengan apa
yang ia katakan.



“Ke kantin yuk. Aku lapar sekali”. Jawab Yuki
tidak mengungkit lagi keanehan Ame tadi, walaupun masih terpikir olehnya.



“HmmAku tidak yakin kamu mau pergi ke tempat seperti itu”,


“Memangnya kenapa?”


“Tak bisa kujelaskan. Ayo ku antar kau ke sana”. Ajak Ame, dia
menarik langkah Yuki untuk mengikutinya.



“Eh. Tunggu dulu”. Mata Yuki, melirik ke
belakang, anak perempuan dingin berambut hitam tadi masih di sana, dengan
bukunya yang tebal dan terlihat membosankan. “Hei
mau ikut ke kantin?” tanyanya meletakan kedua
telapak tangan di atas meja gadis itu.



“Bukankah sudah ku katakan. Percumpercuma…” Ame terlihat terkejut, gadis berambut
hitam itu berdiri dari kursinya.



“Baiklah, kalau kau memaksa. Lagipula aku sudah
selesai”.



Hei hei, apa-apaan dia? Siapa yang memaksanya?
Batin Yuki. Disaat yang sama, Ame berteriak syok.



“UA! Kakau… bicara?” Tanyanya terbata-bata.


“Tentu saja. Memang kau pikir aku orang tuna
wicara hah?” jawabnya balik bicara.



“Haah.. sudah. Yang penting kau mau ikut. Ayo,
ke kantin”. Yuki menengahi pembicaraan mereka yang sepertinya akan beralhir
dengan keributan.



Lorong-lorong ddi depan ruang kelas dipenuhi
banyak siswa, ada tempat duduk tang tergantung di tembok depan kelas dengan
jendela di atasnya. Kantinnya pun tidak kalah ramai dari itu. Yuki terlihat
tersenyum memperhatikan desakan-desakan para murid memperebutkan makanan.
Syukurlah, aku kira sekolah ini tidak normal. Batinnya.



“MmmKantin ini tidakkah terlalu besar untuk sebuah sekolah?” Tanya Yuki
mengawali pembicaraan di tengah suasana yang canggung itu.



“Aku tidak begitu memperhatikan. Benarkah?”


“Ah iya. Aku belum tau siapa namamu.” Seru Yuki
memandang gadis tanpa ekspresi yang tengah menikmati ramennya. Gadis itu tidak
merespon, seakan tidak ada yang berbicara dengannya. Yuki tertunduk lesu, Ame
melihat kekecewaan di wajah teman barunya.



“Hei, Gadis aneh, anak baru ini bertanya siapa
namamu”, cetus Ame dengan nada jengkel, namun berhasil membuat gadis itu menghentikan
kunyahannya.



“Tidakkah kau pikir bicara di saat makan itu
berbahaya? Bagaimana jika mie ini masuk ke saluran pernafasan dan keluar dari
hidungmu?” Gadis itu berbicara untuk yang kedua kalinya di depan mereka.
“Baiklah, aku juga sudah selesai makan
Namaku Nayumi, panggil Nayu saja”, sahutnya menjulurkan tangan.


“Baiklah Nayu!! Salam kennaal—“
,ucapan Yuki tidak bisa terdengar jelas. Saat itu juga, seisi kantin berubah
ricuh, gadis-gadis itu berlari seperti tengah dikejar mafia kecoa raksaksa,
tapi kali ini wajah mereka terlihat merona. Ada apa? Batin Yuki bingung.



“Si
Sombong itu lagi…”, cetus Ame melipat kedua tangannya, sedangkan Nayu tertunduk
memainkan kaca mata besar di hidungnya.



Tap!
Rasa penasaran menggerakan kakinya, ia naik ke atas kursi mengamati seseorang
yang tengah dikerubuni gadis-gadis vampir itu. Siapa dia? Seorang pria berambut
kuning, dandanannya tidak meyakinkan untuk seorang artis terkenal, dia lebih
mirip berandalan, tapi apa ada berandalan yang sepopuler dia?
Kembali Ke Atas Go down
Afi Hakari
Chuunin Senior
Chuunin Senior
Afi Hakari


Posting : 65
Join date : 15.01.13
Age : 26
Lokasi : Kota Padang Sumatra Barat

Hunger School Empty
#3PostSubyek: Re: Hunger School Hunger School Empty19/6/2013, 4:18 pm

CHAPTER 3

“Apa kau ingat dia? Gadis yang manis dan riang”,

“Siapa yang kau maksud?”

“Darah yang berceceran dari atap. Semudah itukah kau melupakannya?”

“Ah, anak perempuan itu, kenapa tidak bilang dari tadi”.

Seseorang menutup sebuah buku tebal yang tengah ia baca. Mistery Of Future.

Lelaki itu berdiri melangkahkan sepatu runcingnya yang di semir―terlihat

mengkilat― mendekati jendela. “Haruki, anak yang malang”,

“Ah, iya. Kalau aku tidak salah. Kau wali kelasnyakan, Kome?” jentung lelaki

berperawakan tegas itu berdebar semakin kencang, matanya melotot karena

terkejut, tapi beberapa detik setelah itu ia terpejam dan menghembuskan nafas

panjang. Mengiyakan.

“Ku dengar, adiknya―”,

“Salah satu pasukan garis depan, tentusaja”.

~*~

“Hei, ame. Lelaki pirang tadi itu… siapa?”

“Hmm?!” Ame mengendus menatap Yuki dengan sorot curiga. Yuki menenggak

ludahnya yang terasa berat.  “Kenapa? Kau menyukainya?”

“Ti..tidak!” Sorak Yuki menyita perhatian semua mata di lorong sekolah saat itu.

“Me.. memangnya terlihat begitu?!”

“Yaah.. Tidak juga”, jawab Ame selewengan. “Hanya saja―” seketika itu raut

wajahnya berubah serius dan menyelidiki, matanya melirik kebawah hingga

kelopaknya menutup setengah. Tangannya menyentuh bingkai besi jendela, lalu

mencengkramnya.

“Hei, kenapa?”

“Ah, tidak ada.. Hahahaha”, gadis itu menggosok-gosok kepalanya.

“Ame, mana Nayu?” Tanya Yuki tidak peduli cekikikan gadis berambut merah itu.

Ame hanya diam sambil menggeleng keluar jendela. Lagit mulai berubah oren dan

lorong sudah mulai sepi, Ame memandang kosong dan angin meniup niup poninya.

Tiba-tiba, sesuatu jatuh mengalir di hidungnya, lalu pipinya sampai ke lehernya.

Ame bergidik, kakinya gemetar! Cairan merah membekas di jari yang ia oleskan di

wajahnya.

“Ame! Mau kemana!?” Teriak Yuki. Anak perempuan yang berlari penuh amarah itu

tak memperdulikannya, langkah kakinya dalam, ia menaiki tangga dengan cepat,

sedangkan Yuki mengejarnya di belakang. Atap? Batin Yuki.

“Hosh…Hosh…” terdengar desahan suara seseorang yang kelelahan, gadis kurus

berambut pendek itu penuh kerihat dan terlihat sangat ketakutan, tapi tatapannya

tajam dan membunuh!

Dia memutar gagang pintu besi yang besar dan berat itu, lalu seketika angin

menghembus kuat. Na..Nayu…apa yang kau―?”

“Ah.. Ame”, Senyuman mengembang dari bibir seorang gadis, kulitnya pucat,

rambutnya yang hitam panjang tertiup angin menutupi senyuman itu. “Sedang apa

kau di sini?”

“Kau..KAU! Sudah kuduga―!” Seketika itu Ame berlari kearah seorang lelaki, yang

berdiri di depan Nayu. “KAU PENYEBAB SEMUANYA―!” Teriak gadis itu benar-baner

marah, suaranya serak, seakan tidak tau apa yang ia katakana.

Kilatan bunga api menggores panjang di udara, bunyi irisan pedang yang saling

bersinggungan mewarnai langit yang mulai menghitam.

Yuki tiba di atap gedung, pemandangan itu terlihat, seorang gadis memegang

pedang panjang ―samurai― terlihat seperti itu, rambut merahnya bersinar diterpa

cahaya jingga matahari yang menusuk, dihadapannya, seorang lelaki berambut

pirang berdiri dengan senyuman licik yang menyebalkan, anak itu memegang

semacam senjata bewarna hitam yang membentuk setengah lingkaran, bagian

terluarnya diasah hingga terlihat sangat tajam, benda itu memiliki sebuah gagang

yang terhubung langsung dengan genggamannya.

“Ka..kau.. anak lelaki di kantin tadi―” suara Yuki terdengar bergetar takut. Melihat

dua orang siswa di sekolahnya, dengan seragam yang sama dengannya,

memegang senjata yang terlihat asli dan menyeramkan. Lalu tatapan Yuki terseret

kearah seorang gadis yang tergeletak bersimbah darah di samping pagar shalter.

Itu Nayu… dan Ame, dia terlihat sedang melindunginya dengan sebilah pedang

panjang. Apa yang sebenarnya terjadi di sini? Pikir Yuki bingung, matanya

membelak begitu melihat lelaki pirang tadi tersenyum ke arahnya dan berlari

mendekat, anak lelaki itu berlari seperti kilat menuju kearah Yuki yang sama sekali

tidak bisa bergerak.

“Yuki! Pergilah dari sana―!!!!!!” Terdengar, teriakkan Ame terdengar di telingaku.

Batin Yuki.

“SRINGG―”, benda tajam setengah lingkaran itu menggores pipi kanan Yuki, gadis

itu berhasil menghindar namun kini ia terjatuh sedangkan pria pirang itu terus

menggerakan senjata ke arahnya.

Percikan bunga api itu terlihat lagi, dan terlihat semakin merah dengan beberapa

helai rambut api milik Ame yang terpotong senjata aneh itu.

“Ah. Kau belum menyerah juga ya”, desah lelaki itu menatap Ame, matanya biru

tenang, tapi terlihat sangat suram dan penuh kebencian.

“Kau terlihat seperti orang tidak waras, Kai”,

Kali ini Ame dan lelaki bernama Kai itu terlompat ke belakang setelah senjata

mereka berdua saling beradu.

“Tak ku sangka, kau masih mengingat nama itu―Amemura Hanaiko. Teman lama

ku―Shihihi”, tawa seram Kai menyadarkan Yuki dari lamunannya.

“Tidak. Untuk menyebutnya saja, aku merasa ingin muntah!”

Pertempuran sengit kembali terjadi. Mereka terlihat seakan terbang di udara,

kecepatan, ketangkasan, sulit bagi Yuki untuk memasukkan ini dalam akal

sehatnya yang rasional.

Sudah lama, sudah lama, sudah lama! Apa yang bisa kulakukan? Apa yang terjadi

disini? Ini…ini..ini tidak masuk akal!

Yuki menutup kedua telinganya dan memejamkan matannya kuat-kuat, dia masih

terpaku bersandar dengan gemetaran di pintu shalter besi itu. Pertempuran Ame

dan Kai terlihat bagai mimpi, Disituasi kali ini terlihat tidak seimbang, Lelaki pirang

itu tidak waras! Disamping itu Ame mati-matian melindungi Nayumi, dia juga harus

melindungi dirinya sendiri, dan…dan aku!

Sorot mata Yuki berubah tajam, langkahnya menapak maju

“BERHENTI!” teriak ame, percikan darah keluar dari mulutnya, keringat menetes

dari wajahnya, seragam sekolah sudah seperti baju perang berlumur darah di

badannya. Yuki menghentikan langkahnya begitu melihat semua itu.

“Kau bercanda?! Cih!” Yuki tertunduk kesal. “Meskipun… meskipun aku tidak

mengerti.. tapi..tapi aku tak bisa hanya diam dan…”

“KALAU BEGITU PERGI SAJA! JANGAN KESINI! KAU HANYA AKAN MENGGANGGUKU!

TAK BERGUNA!”

Batinnya berdetak kencang, perasaan apa ini? Saat seseorang yang belum

dikenalnya jauh, membentaknya dengan sangat keras, tapi ternyata… Yuki tidak

menanggapi itu sebagai bentakan, ia malah semakin mantap melangkahkan kaki,

saat itu… Kai tersenyum, senyumnya makin melebar dan akhirnya mengeluarkan

suara liciknya yang menyebalkan!

“Wah, wah… aku jadi terharu sekali… terimakasih ya.. gadis manis, kau sudah mau

membela temanku yang galak ini,, hhfufufu… kalau begitu, akan kubuat

kematianmu cepat, dan akan kuantar kau.. KE SURGAAA!!!” seketika itu Yuki

kembali menjadi incaran Kai, lelaki pirang itu benar-benar bernafsu membunuh Yuki.

Kali ini Ame terjatuh, gadis itu tumbang, kalah dengan rasa sakitnya, dia

merenggut perutnya yang berlumuran darah.

Sial! Sial! Sial! Kalau begini…. Kalau begini, semua akan sama saja! Aku tidak mu,

tidak akan, tidak akan terjadi lagi, kakak!

Batin Ame bergemuruh, saat itu wajah seorang wanita muda yang tengah

tersenyum terlintas di benaknya, wanita yang manis dengan rambut merahnya

yang terkepang panjang, namun seketika senyuman itu berubah menjadi hangat,

darah hangat yang mengalir disekeliling tubuhnya yang terbaring di samping

seorang anak perempuan kecil yang menggigil dengan mata hitam yang

berguncang ketakutan.

“Yuki… Yuki.. YUKI!!! KUMOHON JANGAN MATIII!!!!” teriakkan Ame diwarnai merah

darah dari lengan Yuki. Gadis berkuncir miring itu jatuh tak sadarkan diri, namun

sekelebat dia melihat di tengah keburaman matanya yang mulai berkunang,

Apa itu? Siapa dia? Poni panjang itu… lelaki tadi pagi, aku bisa merasakan kalau itu

memang dia, ada apa? Kenapa dia di sini? Sebenarnya… apa yang terjadi?




Bersambung ke chapter berikutnya
Kembali Ke Atas Go down
Sponsored content




Hunger School Empty
#4PostSubyek: Re: Hunger School Hunger School Empty

Kembali Ke Atas Go down
Subject: Re: Hunger School  None

Anda tidak dapat mengirmkan postingan atau mengomentari pembahasan di topik ini karena masih berstatus sebagai Tamu.
Silakan Mendaftar dan Login agar dapat mengakses segala fitur forum secara penuh.
AgoessNaruto Robot
Forum Bot



Join Date: 16/05/2009
Lokasi: Forum AgoessNaruto
Comments: Bot untuk membantu anda di Forum AgoessNaruto
Kembali Ke Atas Go down
 

Hunger School

Topik sebelumnya Topik selanjutnya Kembali Ke Atas 
Halaman 1 dari 1

 Similar topics

-
» Komentar Untuk "Hunger School"
» Rich School
» Fantasy Magic School!
» Tempat diskusi,komentar serta saran Fantasy Magic School

Permissions in this forum:Anda tidak dapat menjawab topik
Forum Indofanster :: Tambahan ::   :: Karangan Cerita & Fanfiction :: Archive-